Jaga Kelestarian Cagar Alam, Masyarakat Adat Fatumnasi Gelar Ritual Sanksi Adat

digtara.com - Masyarakat adat Desa Fatumnasi, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT menggelar ritual adat.
Baca Juga:
Ritual sanksi adat tersebut merupakan komitmen dalam penyelesaian permasalahan penebangan pohon dan pembuatan cagar alam di cagar alam Gunung Mutis.
Ritual yang digelar pada Jumat (26/7/2024) dilakukan oleh gabungan Kelompok Tani Hutan Tun Feu, berupa penebangan pohon dan pembuatan pagar.
Ritual adat dilakukan di kawasan Cagar Alam Gunung Mutis yang dihadiri oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT (BBKSDA NTT), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah TTS, perangkat Desa Fatumnasi, tokoh adat masyarakat Desa Fatumnasi dan Pengurus Gabungan Kelompok Tani Hutan Tun Feu.
Sanksi yang dikenakan berupa satu keping koin perak, satu botol minuman arak/sopi, satu ekor babi, satu ekor ayam merah, beras 40 kilogram, uang sejumlah Rp 50.000 dan selendang tenun tujuh lembar.
Pelaksanaan sanksi adat terhadap pelanggaran yang dilakukan di dalam kawasan hutan/Cagar Alam Mutis merupakan implementasi pengelolaan kawasan konservasi berbasis 3 pilar yaitu pemerintah, masyarakat adat dan tokoh agama.
Ritual adat dipimpin oleh ketua adat Desa Fatumnasi, Yusman Oematan dimulai dengan tutur adat dan penyerahan minuman arak dan uang perak oleh ketua adat kepada Kepala Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur yang diwakili Kepala Bidang KSDA Wilayah I.
Penyerahan ini sebagai simbol pengakuan bersalah, permohonan maaf serta janji untuk tidak mengulangi kembali pelanggaran yang sudah terjadi.
Kepala Balai Besar KSDA NTT, Arief Mahmud menyampaikan, bagi orang Timor kawasan Cagar Alam Gunung Mutis diakui sebagai ibu yang telah memberikan kehidupan kepada masyarakat.
Oleh karena itu haruslah dijaga kelestariannya, agar hutan ini dapat terus memberikan kehidupan.
BBKSDA NTT menghargai dan menghormati atas penjatuhan sanksi adat ini, sebagai implementasi pengelolaan kawasan berbasis 3 pilar yaitu pemerintah, masyarakat adat dan tokoh agama.
Ritual adat ini mempunyai nilai kesakralan yang tinggi, sebagai warisan leluhur yang harus dipegang teguh oleh seluruh masyarakat adat Mutis dan oleh semua pihak.
"karenanya diharapkan ritual sanksi adat ini menjadi yang terakhir kalinya dilaksanakan, sebagai perwujudan bahwa kita semua berkomitmen untuk memegang teguh adat istiadat ini," ujarnya.
Sanksi adat tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera sehingga apabila dikemudian hari masih terdapat pelanggaran terhadap kawasan hutan/kawasan Cagar Alam Mutis, maka kepada pelaku akan dilakukan penyelesaiaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam kesempatan yang sama Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur selaku pembina kegiatan perhutanan sosial lingkup Dinas LHK Provinsi NTT, Ondy Siagian menyampaikan terima kasih kepada Balai Besar KSDA NTT yang telah memberikan penjelasan dan pendampingan terhadap masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Gunung Mutis dan Hutan Lindung Mutis Timau sehingga bentuk perusakan kawasan hutan dapat dicegah.
Ia juga menyampaikan bahwa apabila dikemudian hari ditemukan pelanggaran oleh seluruh anggota Gapoktanhut Tunfeu sebelum maupun sesudah Izin Perhutanan Sosial keluar maka akan diproses dengan Hukum Positif (Pidana) yang berlaku.
Sampai saat ini, Izin Perhutanan Sosial masih dalam proses sehingga seluruh anggota Gapoktanhut Tunfeu harus menghentikan aktifitas terkait perhutanan sosial.
Diingatkan bahwa kelestarian hutan adalah tanggungjawab semua pihak, pemerintah dan masyarakat.
"Untuk itu mari tanamkan harapan masa depan hijau yang berkelanjutan melalui partisipasi aktif seluruh masyarakat melalui aksi nyata dalam menjaga dan melestarikan Kawasan hutan kita," tandasnya.
Kawasan Cagar Alam Gunung Mutis ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.4617/MENLHK-PKTL/ KUH/PLA.2/9/2017 seluas 12.315,61 Hektar.
Cagar alam ini terletak di Kabupaten TTS seluas 9.888,78 hektar atau 80,29 persen dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) seluas 2.426,83 hektar atau 19,71 persen.
Keberadaan kawasan hutan ini penting sebagai type perwakilan hutan hujan dataran tinggi di Pulau Timor dengan ekosistem hutan alam Ampupu serta hutan pegunungan primer.
Kawasan hutan ini juga merupakan habitat berbagai jenis satwa penting di Nusa Tenggara Timur.
Sebagian diantaranya merupakan satwa endemik dan dilindungi.
Dalam sistem sosial budaya, Gunung Mutis bagi masyarakat Mollo diibaratkan sebagai Ibu yang sangat penting untuk menjaga kesinambungan kehidupan masyarakat, serta merupakan hulu dari beberapa DAS di wilayah Pulau Timor.