Harapan dari Atas Becak: Sekolah dan Rumah Sakit Gratis

digtara.com -Di tengah terik mentari Kota Medan, jalan Abdullah Lubis di seberang Mesjid Al-Jihad yang tak terlalu ramai, terparkir sebuah becak tua berwarna hijau dengan tenda kain coklat yang mulai memudar.
Baca Juga:
Di dalamnya, duduk seorang pria berusia 50 tahun, mengenakan topi coklat dan jaket lusuh berwarna navy dan merah.
Senyumnya ramah, meski sorot matanya menyimpan lelah.
Ia adalah Julikar Marpaung — penarik becak yang telah menggantungkan hidupnya pada roda tiga itu selama hampir seperempat abad.
Setiap hari, sejak pukul 07.30 pagi hingga jam 21.00, Julikar mengayuh becaknya menyusuri jalanan sekitar Ayahanda Medan.
Dan khusus hari Jumat ia menuju Jalan Abdullah Lubis, tepatnya di sekitar Masjid Al-Jihad.
Bukan hanya untuk mencari penumpang, tetapi juga sekadar berharap bisa mendapatkan nasi bungkus sebagai pengganjal perut siang hari.
"Kek gini la kami sekarang. Mengantongi 20 ribu dari siang ini, ini pun kami datang ke sini hanya untuk mendapatkan nasi bungkus untuk makan siang," ujarnya lirih, menahan getir yang tak lagi bisa ia sembunyikan.
Dulu, sebelum era ojek online merebak, penghasilannya bisa mencapai lebih dari seratus ribu rupiah per hari.
Namun kini, sekadar mendapat 100 ribu rupiah saja sudah terasa seperti keberuntungan besar.
Penumpang semakin jarang, harga sering ditawar murah, dan mata uang terus kehilangan nilainya di hadapan kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Julikar tinggal di Kecamatan Medan Petisah bersama istri dan tiga orang anaknya.
Anak sulungnya baru saja tamat SMK, yang kedua duduk di bangku kelas 1 SMA, dan si bungsu kini duduk di bangku kelas 1 SMP.
Harapannya sederhana yaitu bisa terus memberi makan keluarganya dari hasil tarikannya, meskipun kadang dari pagi hingga siang hanya selembar uang 20 ribu yang mampir ke sakunya.
Sebelum menjadi tukang becak, Julikar pernah bekerja sebagai buruh angkut galon air minum di pabrik.
Tenaganya dulu adalah sandaran keluarga.
Kini, tenaganya masih ia jual, hanya saja dengan hasil yang makin kecil dari hari ke hari.
"Masalah ekonomi, yang kita dapat tidak sesuai dengan kebutuhan. Bantuan dari pemerintah pun saya dan keluarga tidak dapat, padahal kalau dari syarat, kami layak. Tapi anak saya tidak mendapatkan bantuan apa pun," ucapnya kecewa.
Namun, di balik nada putus asa, masih ada secercah harapan dalam suara Julikar.
"Kalau bantuan itu dialihkan aja ke rumah sakit gratis dan sekolah gratis. Itu pun sudah sangat membantu," tuturnya dengan sorot mata yang penuh doa.
Julikar hanya ingin melihat negeri ini lebih peduli agar tak ada lagi anak yang putus sekolah, atau nyawa yang melayang hanya karena tak mampu berobat.
Julikar bukan hanya seorang tukang becak. Ia adalah potret nyata masyarakat kecil yang tetap bertahan, meski roda kehidupan berputar makin kencang dan sering tak berpihak pada mereka.
Ia dan becaknya bukan hanya mengantar penumpang, tapi juga harapan-harapan kecil yang terus hidup di tengah kerasnya realitas.
Penulis: Annisa Fadillah, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Mantan Polisi di Medan Ditangkap dalam Kasus Penipuan Seleksi Bintara Polri, Kerugian Capai Rp 1,4 Miliar

Polisi Tangkap Pelaku Begal di Medan dengan Modus Baru, Korban Pura-pura Diajak Check-in ke Hotel

Di Balik Peluit Kecil, Ada Tekanan Besar

Tega, Ponakan Tuding Bibi Pelaku Pembunuhan Sang Adik, Diduga Gegara Ingin Dapatkan Klaim Asuransi

RS Adam Malik Andalkan Kedokteran Nuklir untuk Diagnosis Akurat Berbagai Penyakit
