Putusan MK 181/2024: Perlindungan untuk Rakyat Kecil di Kawasan Hutan

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengeluarkan putusan penting yang menegaskan keberpihakan negara kepada rakyat kecil, khususnya mereka yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan. Melalui Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024, MK memutus perkara uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (Cipta Kerja) yang mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Baca Juga:
Permohonan diajukan oleh Sawit Watch, organisasi masyarakat sipil yang berdiri sejak 1998 dan dikenal aktif memperjuangkan keadilan bagi petani sawit rakyat serta masyarakat adat. Sawit Watch menilai beberapa pasal hasil perubahan UU Cipta Kerja justru berpotensi merugikan masyarakat kecil di kawasan hutan.
Masalah utama muncul karena aturan tersebut masih memungkinkan masyarakat yang belum terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan dikenai sanksi administratif. Padahal, banyak masyarakat adat yang telah turun-temurun tinggal dan mengelola lahan di dalam kawasan hutan, jauh sebelum ada penetapan batas formal kawasan oleh negara.
Sawit Watch menggugat tiga pasal hasil perubahan UU P3H, yakni Pasal 12A, 17A, dan 110B. Mereka berpendapat bahwa:
- Ketentuan "harus terdaftar dalam penataan kawasan hutan" menciptakan ketidakpastian hukum. Banyak warga hutan belum terdaftar karena proses administrasi yang lambat dan kompleks, sehingga masih terancam sanksi.
- Kebijakan denda administratif dikhawatirkan menjadi celah "pemutihan" bagi perusahaan besar sawit yang beroperasi di kawasan hutan, sementara masyarakat kecil justru tetap disalahkan.
- Ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) (kepastian hukum yang adil) dan Pasal 28I ayat (3) (perlindungan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional) UUD 1945.
- Mereka menegaskan, Mahkamah sendiri sudah pernah melindungi masyarakat adat melalui Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014, yang menyatakan masyarakat yang hidup secara turun-temurun di dalam hutan tidak boleh dipidana selama kegiatan mereka bukan untuk tujuan komersial.
Ketentuan Pasal 12A ayat (2) huruf a dan Pasal 17A ayat (2) huruf a UU P3H tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa pengecualian dari sanksi administratif harus diselesaikan melalui penataan kawasan hutan. Artinya, pemerintah wajib melakukan penataan kawasan hutan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang telah tinggal minimal lima tahun di dalam atau sekitar kawasan hutan. Dengan kata lain, masyarakat tidak boleh langsung dikenai sanksi administratif tanpa adanya kejelasan status wilayah dan hak mereka. Putusan ini mempertegas kewajiban negara untuk melindungi masyarakat kecil, petani, dan masyarakat adat dalam kerangka keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Implikasi terhadap Kebijakan Kehutanan dan Sawit
- Negara wajib hadir dengan pendekatan korektif, bukan represif.
Masyarakat yang sudah lama tinggal di kawasan hutan tidak lagi bisa dianggap pelanggar hukum. Pemerintah harus lebih dulu menata kawasan, bukan langsung menjatuhkan sanksi. - Kebijakan kehutanan menjadi lebih inklusif dan sosial.
Kementerian Kehutanan perlu memperkuat data dan pemetaan terhadap masyarakat yang tinggal di kawasan hutan agar kebijakan penataan benar-benar berpihak dan tidak menimbulkan kriminalisasi baru. - Tidak ada ruang untuk "pemutihan korporasi besar sawit".
Mekanisme denda administratif tidak boleh dijadikan jalan keluar bagi perusahaan yang menggarap kawasan hutan secara ilegal. MK menegaskan, pendekatan penataan kawasan hanya untuk masyarakat kecil dan tradisional, bukan untuk kepentingan bisnis besar. - Penegasan hubungan antar kebijakan kehutanan dan agraria.
Meski pemanfaatan dan penggunaan lahan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan dapat diakomodir melalui putusan ini, penerbitan sertifikat tanah oleh Kementerian ATR/BPN belum dapat dilakukan. - Sertifikasi baru bisa diproses setelah Kementerian Kehutanan menyelesaikan penataan kawasan hutan dan menetapkan perubahan peruntukan atau fungsi kawasan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Dengan demikian, putusan MK tidak serta-merta mengubah status kawasan hutan menjadi tanah hak, tetapi membuka ruang legal bagi masyarakat untuk mendapatkan pengakuan melalui proses penataan resmi.
- Sinergi lintas sektor menjadi keharusan. Implementasi putusan ini harus melibatkan Kementerian Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, pemerintah daerah, dan masyarakat sipil agar tidak menimbulkan interpretasi yang tumpang tindih di lapangan.
Untuk memastikan semangat putusan MK berjalan efektif di lapangan, Kementerian Kehutanan perlu melakukan langkah-langkah strategis berikut:
- Menyusun petunjuk pelaksanaan penataan kawasan hutan bagi masyarakat yang telah tinggal minimal lima tahun.
- Melakukan identifikasi dan verifikasi lapangan terpadu, bekerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat adat untuk memastikan siapa yang berhak memperoleh perlindungan hukum.
- Mengintegrasikan hasil putusan MK dengan program PPTPKH (Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan dan Perhutanan Sosial.
- Mengembangkan sistem informasi publik yang transparan agar masyarakat mengetahui status wilayah kelola mereka.
- 5. Menindak tegas korporasi sawit besar yang mencoba memanfaatkan putusan ini untuk melegalkan aktivitas di kawasan hutan.
Putusan MK Nomor 181/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak penting bagi keadilan sosial dan keberlanjutan kehutanan Indonesia. Putusan ini kembali menegaskan bahwa hukum tidak boleh menjadi alat untuk menindas mereka yang lemah, tetapi harus menjadi sarana koreksi kebijakan agar pembangunan berjalan adil dan manusiawi.
- Dengan semangat ini, negara diingatkan kembali: hutan bukan hanya sumber daya ekonomi dan ekologi, melainkan ruang hidup bagi rakyat yang telah menjaganya turun-temurun.
- Implementasi yang konsisten dan lintas sektor akan menjadikan putusan ini sebagai momentum besar menuju tata kelola kehutanan yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.