Sabtu, 27 April 2024

Polemik Rusaknya Hutan Kalimantan dan Bencana di Masa Depan

- Selasa, 19 Januari 2021 04:41 WIB
Polemik Rusaknya Hutan Kalimantan dan Bencana di Masa Depan

digtara.com – Insiden banjir yang menggenangi 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan mengundang polemik dan gemuruh protes dari aktivis dan pegiat lingkungan hingga warga internet di jejaring sosial. Rusaknya hutan Kalimantan pun diperdebatkan

Baca Juga:

Sebuah gambar peta deforestasi di Pulau Kalimantan dari tahun 1950, 1985, 2000, 2005, 2010, dan 2020, ramai diunggah dan diperbincangkan pengguna media sosial.

Salah satu yang mengunggah adalah Marco Kusumawijaya, bekas anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta.

Peta menunjukkan perubahan luas tutupan hutan yang terus mengikis sepanjang tahun 1950-2005.

Berdasarkan peta itu, pada 1950 warna hijau masih mendominasi wajah Pulau Kalimantan. Namun warna hijaunya perlahan memudar pada 1985 dan semakin memudar pada tahun 2000 dan 2005.

Warna hijau Pulau Kalimantan digusur oleh warna putih yang menandakan deforestasi.

peta hutan
Peta hutan Kalimantan yang beredar di media sosial. foto:int/digtara

Dalam peta tersebut juga digambar proyeksi deforestasi pada 2010 dan 2020. Pulau Kalimantan, berdasarkan proyeksi peta tersebut, hanya akan menyisakan sedikit kawasan hutannya.

Gambar peta Kalimantan itu dibuat oleh seorang kartografer bernama Hugo Ahlenius pada 2007 silam untuk menggambarkan tersingkirnya ruang hidup orangutan di Kalimantan.

Peta dimuat oleh GRID-Arendal, organisasi nonprofit di bidang lingkungan hidup yang bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP).

Pada 2007 peta itu dijadikan bahan analisa oleh PEACE (Pelangi Energi Abadi Citra Enviro) dalam studi berjudul “Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies”.

Dalam studi itu, PEACE memproyeksi angka deforestasi di Kalimantan akan mencapai 2 juta per tahun.

Kemudian, pada 2009 peta tersebut dikutip seorang peneliti yang tulisannya dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan yang diterbitkan oleh Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Di media sosial, peta Kalimantan itu dikaitkan dengan bencana banjir di Kalimantan Selatan yang terjadi selama lebih dari sepekan.

Sebagian netizen menjadikan peta itu sebagai rujukan mengenai deforestasi yang akhirnya mengikis kemampuan Kalsel menyerap air hujan.

Investasi perusahaan perkebunan turut andil dalam deforestasi

Koorporasi Perusak Hutan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga para korporasi menjadi penyebab masifnya deforestasi yang dinilai merupakan akar masalah dari bencana banjir di Kalimantan Selatan. Namun ia menyayangkan kehadiran presiden tidak menyentuh pada akar masalah.

wajah hutan Kalimantan akibat pembukaan lahan perkebunan. foto:batasnegeri/digtara

“Seharusnya Jokowi hadir dan kuat. Salah satunya berani memanggil pemilik perusahaan-perusahaan tambang, sawit, HTI, HPH. Kita dialog terbuka di hadapan rakyat dan organisasi masyarakat sipil,” kata Koordinator Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono kepada CNNIndonesia.com, Minggu (18/1).

Ia menyayangkan langkah mantan gubernur DKI Jakarta itu yang hanya menyalahkan curah hujan yang tinggi dan daya tampung sungai sebagai dalang dari banjir. Ini diungkap Jokowi ketika berkunjung ke Kalsel. Padahal menurutnya, banjir ini merupakan bencana ekologis dari banyaknya izin usaha di wilayah itu.

Sudah Ada Peringatan

Fenomena banjir di Kalimantan sendiri sudah sempat diperingatkan melalui studi milik Center for International Forestry Research (Cifor) bertajuk “Rising Floodwaters: Mapping Impacts and Perceptions of Flooding in Indonesian Borneo” sejak 2016 lalu.

Studi itu mengungkap bahwa terdapat potensi peningkatan bahaya banjir di Kalimantan selama abad ini karena perubahan iklim yang berdampak pada siklus air, curah hujan, kenaikan permukaan laut, modifikasi ekosistem pesisir dan drainase gambut dataran rendah.

Seorang ibu menggendong anaknya untuk mengungsi akibat banjir di wilayah Kalimantan Selatan. foto:int/digtara

“Perubahan dalam bahaya banjir ini kemungkinan juga dipengaruhi peningkatan paparan banjir dan kerentanan populasi kepadatan yang meningkat di kota-kota dan banyak pedesaan selama dekade mendatang,” tulis studi tersebut.

Atas konklusi itu, studi menyarankan pemerintah mulai memetakan strategi antisipasi dan tanggap darurat untuk mengurangi risiko bencana, serta melakukan adaptasi jangka panjang di Kalimantan.

Studi dilakukan di hutan Kalimantan karena merupakan pulau ketiga terbesar di dunia dengan keanakaragaman hayati yang begitu beragam. Namun juga mengalami laju deforestasi, yang menurut studi, termasuk tertinggi di dunia.

Analisa dilakukan terhadap sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS) setempat, wawancara dengan warga lokal, pemberitaan media, hingga perhitungan hubungan data antara banjir dan aktivitas di wilayah setempat.

Hasilnya, 60 persen warga dari 364 desa di Kalimantan mengaku mengalami banjir setidaknya lebih dari sekali dalam setahun. Dan frekuensi banjir kian meningkat dalam kurun waktu 30 tahun ke belakang.

“Penebangan atau pembukaan lahan gambut telah berkontribusi pada peningkatan frekuensi banjir selama 30 tahun terakhir. Sejak itu tren dikaitkan dengan area penebangan yang lebih luas, lahan gambut, dan umum ditemukan di desa-desa yang disurvei di Kalimantan Tengah bagian timur, dimana area lahan gambut yang luas telah dikonversi menjadi perkebunan pertanian,” ungkap studi.

Pengurangan wilayah hutan terus meningkat

Deforestasi yang Terus Meningkat

Menurut analisa “Contributor and Victiim-Indonesia’s Role in Global Climate Change with Special Reference to Kalimantan” yang dipublikasi tahun 2009, deforestasi memiliki peran yang besar dalam memperparah kondisi krisis iklim.

Studi mengungkap kawasan hutan Indonesia menyimpan 24 miliar ton karbon yang berperan penting dalam pengendalian perubahan iklim. Namun selama 1995-2005, tutupan hutan menurun dari 50,2 persen menjadi 48,4 persen. Dari jumlah itu, Sebanyak 57 persen dari total deforestasi terjadi karena pelepasan lahan dan kebakaran hutan.

Setiap tahunnya, Indonesia melepas sekitar 3.000 juta CO2e, dimana deforestasi menyumbang 85 persen dari emisi gas rumah kaca tahunan negara. Jumlah tersebut mencapai 34 persen dari keseluruhan emisi global yang disebab karena perubahan penggunaan lahan dan hutan.

Sementara mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), angka deforestasi tahun 2018-2019 mencapai 462,4 ribu hektar (netto). Ini naik dari tahun 2017-2018 yang mencapai 439,4 ribu hektar. Namun menurun dari tahun 2016-2017 dengan 479 ribu hektar dan tahun 2015-2016 dengan 630 ribu hektar. (cnnindonesia/*)

 

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
:
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Polisi Terima Dua Laporan Terkait Kasus Pembunuhan Mahasiswa Undana di Oesapa

Polisi Terima Dua Laporan Terkait Kasus Pembunuhan Mahasiswa Undana di Oesapa

Ayah Biadab di Sidimpuan Tega Cabuli Anak Kandungnya Sendiri Berusia 3 Tahun

Ayah Biadab di Sidimpuan Tega Cabuli Anak Kandungnya Sendiri Berusia 3 Tahun

Peduli Olah Raga, Jon Sujani Bagikan Bola Ke Tim Futsal di Sidimpuan

Peduli Olah Raga, Jon Sujani Bagikan Bola Ke Tim Futsal di Sidimpuan

Plt Bupati Langkat Ingatkan ASN Hindari Prilaku Menyimpang

Plt Bupati Langkat Ingatkan ASN Hindari Prilaku Menyimpang

Buka MTQ ke-56 Berandan Barat, Syah Afandin: Terus Tanamkan Jiwa Al Quran ke Masyarakat

Buka MTQ ke-56 Berandan Barat, Syah Afandin: Terus Tanamkan Jiwa Al Quran ke Masyarakat

Bertakziah di Kediaman Almarhum Bribda M. Fahrel Kinandung, Syah Afandin Doakan Amal Ibadahnya Diterima

Bertakziah di Kediaman Almarhum Bribda M. Fahrel Kinandung, Syah Afandin Doakan Amal Ibadahnya Diterima

Komentar
Berita Terbaru