Mengenang Gus Dur dalam Setiap Perayaan Imlek di Indonesia

digtara.com – Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dikenang dalam banyak hal. Ia dikenang sebagai tokoh pluralisme terkait dengan sikapnya pada beragam agama dan budaya. Salah satunya pada perayaan Imlek bagi etnis Tionghoa.
Baca Juga:
Selama 32 tahun Soeharto berkuasa sebagai Presiden RI, etnis Tionghoa di Indonesia dilarang merayakan hari besar tahun baru China atau Imlek secara terang-terangan atau di muka publik.
Pelarangan itu dikukuhkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa yang dikeluarkan Soeharto.
Dalih Soeharto saat itu bahwa adat dan kepercayaan etnis Tionghoa dapat menghambat proses asimilasi dalam porsi yang wajar di Indonesia.
Namun, Pengamat Kebudayaan Universitas Pelita Harapan Johanes Helijanto menyebut alasan sebenarnya adalah kecurigaan pemerintah terhadap etnis Tionghoa pasca-G30S.
“Sebenarnya ini karena ekses dari sentimen negatif terhadap China dan Tionghoa pasca G30S PKI. Ada tuduhan mereka ikut membantu PKI,” ujar Johanes dalam perbincangan via aplikasi pesan dengan CNNIndonesia.com, Selasa (9/2).
Sejak Inpres terbit, warga etnis Tionghoa hanya boleh melakukan aktivitas itu di rumah saja. Lenyap sudah perayaan Imlek, festival barongsai dan penggunaan bahasa Mandarin di kehidupan sehari-hari.
Namun pembatasan terhadap warga Indonesia dari etnis Tionghoa tak berhenti sampai di ranah kebudayaan. Pemerintah selanjutnya mengeluarkan Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 tahun 1967 yang mengharuskan etnis Tionghoa mengganti nama mereka dengan menghilangkan unsur China.
Angin Perubahan di Era Gus Dur
Orde Baru tumbang pada 1998. Angin perubahan pelan tapi pasti mulai berembus. Berawal dari kebijakan Presiden ketiga RI BJ Habibie menerbitkan Inpres Nomor 26/1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi.
Dikotomi pribumi dan nonpribumi memang sempat menguat pada masa transisi setelah berakhir Orde Baru. Saat kerusuhan 1998 pecah di Indonesia, dikotomi pribumi dan nonpribumi digunakan oleh massa perusuh sebagai ‘legitimasi’ penjarahan hingga kekerasan yang menyasar warga etnis Tionghoa.
Titik terang untuk kebebasan dan kesetaraan hak bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia baru semakin terlihat saat Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur menjabat sebagai presiden pada 1999.
Mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama itu berpandangan warga etnis Tionghoa adalah bagian dari Indonesia, sama seperti suku atau subetnis lainnya. Sebab menurutnya Indonesia sendiri dibentuk banyak ras yakni Cina, Melayu dan Astro-Melanisia.
Gus Dur lantas menghapus pemberlakuan Inpres Nomor 14/1967 lalu menerbitkan Inpres Nomor 6/2000 pada 17 Januari 2000.
Dengan keluarnya Inpres ini etnis Tionghoa bebas menjalankan kepercayaan dan adat istiadatnya.
Kemudian pada 9 April 2001 Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional lewat Keppres Nomor 9 tahun 2001.
Menurut penulis buku Menjerat Gus Dur, Virdika Rizki Utama penghapusan pelarangan Imlek adalah upaya Presiden ketiga RI itu dalam mengubah paradigma yang diproduksi rezim Orde Baru.
“Pascareformasi, Gus Dur ingin menjebol paradigma dan tatanan sosial yang keliru, yang diberlakukan terhadap orang Tionghoa oleh Orba,” ujar Virdika dalam perbincangan via aplikasi pesan awal pekan ini.
Ia berpandangan pencabutan pelarangan perayaan Imlek ini juga harus dilihat sebagai komitmen kebangsaan dan HAM seorang Gus Dur.
“Negara wajib melindungi dan menjamin identitas suku-bangsa yang ada di dalamnya. Gus Dur melakukan itu,” ucapnya.
Dalam konteks kebangsaan Indonesia, kata Virdika, tidak ada istilah pribumi dan nonpribumi. Semuanya punya hak dan kesempatan yang sama untuk hidup dan mencari serta mendapat penghidupan.
Selanjutnya…Gus Dur keturunan Tionghoa
“Salah satunya menjamin beragama dan menjalankan ritusnya. Seperti agama Konghucu dan [perayaan] Imlek,” jelasnya.
Berkat dicabutnya pelarangan perayaan Imlek, warga etnis Tionghoa di Indonesia kembali merayakan Imlek. Perayaan pertama setelah kejatuhan Soeharto terjadi pada Senin, 26 Januari 2000. Sejak saat itu, tahun baru Imlek bebas dirayakan di muka umum di seluruh pelosok Nusantara.
Keturunan Tionghoa
Selain pemikirannya, Gus Dur juga sempat membuat geger khalayak. Sebab dia mengaku sebagai keturunan Tionghoa.
“Saya ini China tulen sebenarnya, tetapi ya sudah nyampurlah dengan Arab, India,” ungkap Gus Dur, seperti diberitakan Kompas.com pada 30 Januari 2008 silam.
Ucapan Gus Dur itu memang bukan yang pertama kalinya. Tetapi kala itu memang cukup membuat terperangah. Berdasarkan cerita Gus Dur, dia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menjadi selir dengan raja di Indonesia.
Dari situ, Putri Cempa memiliki dua anak, yakni Tan Eng Hwan dan Tan A Hok. Tan Eng Hwan kelak dikenal sebagai Raden Patah, sementara Tan A Hok adalah seorang mantan jenderal yang sempat menjadi duta besar di China.
Dari garis Raden Patah itulah kemudian Gus Dur mengaku mendapatkan keturunan Tionghoa-nya. Pengakuan Gus Dur itu juga dikuatkan oleh tokoh NU lainnya, Said Aqil Siradj, pada tahun 1998 seperti yang ditulis dalam buku Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia.
Said Aqil bercerita, Tan Kim Han memiliki anak bernama Raden Rachmat Sunan Ampel. Salah satu keturunannya adalah KH Hasyim As’ari yang selanjutnya memiliki anak bernama KH Wahid Hasyim. Wahid Hasyim pun memiliki anak bernama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
“Jadi, Gus Dur itu Tionghoa, maka matanya sipit,” ujar Said sambil tersenyum. “Dengan demikian, tidak ada istilah pro dan nonpro serta Muslim dan non-Muslim,” ungkap Said Aqil waktu itu.
Bapak Tionghoa Indonesia
Tidak hanya keturunan Tionghoa, Gus Dur juga mendapat gelar ‘Bapak Tionghoa Indonesia’ pada 10 Maret 2004 silam dari kelenteng Tay Kek Sie. Gelar itu bukan didasarkan pada keturunan Tionghoa yang diklaim Gus Dur, melaikan gelar didapat karena kebijakan dan pemikiran-pemikirannya yang plural.
Saat penobatan, dia hadir dengan menggunakan baju cheongsam, meski harus duduk di kursi roda. Selepas kepergian Gus Dur pada 30 Desember 2009, makam ulama NU ini masih didatangi warga Tionhoa yang ingin berdoa. Bahkan foto mendiang Gus Dur masih terpampang sejumlah kelenteng untuk mengingat jasa-jasanya. (cnn/kompas/digtara)

Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur
