Senin, 13 Oktober 2025

Aku Gak Mau Jadi Beban, Tapi Kok Malah Aku yang Terbebani?: Potret Gen Z sebagai Sandwich Generation di Usia Muda

Redaksi - Kamis, 17 Juli 2025 18:41 WIB
Aku Gak Mau Jadi Beban, Tapi Kok Malah Aku yang Terbebani?: Potret Gen Z sebagai Sandwich Generation di Usia Muda
ist
Michelle Victoria Ashlee

digtara.com - "Aku gak mau jadi beban, tapi kok malah aku yang terbebani?"

Baca Juga:

Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi sebagian Gen Z, ini adalah realita sehari-hari.

Di tengah harapan tinggi dari keluarga, ekonomi yang semakin tidak pasti, dan krisis identitas, banyak anak muda mendapati diri mereka terjebak dalam peran yang tidak pernah mereka pilih: menjadi tulang punggung sebelum waktunya.

Bagi banyak orang, masa muda identik dengan kebebasan, eksplorasi diri, dan keyakinan bahwa hidup masih panjang untuk dijelajahi.

Namun, kenyataan ini tidak sepenuhnya berlaku bagi sebagian besar Gen Z di Indonesia, terutama mereka yang lahir sebagai anak pertama.

Di usia yang seharusnya dipakai untuk belajar, mengeksplorasi dunia, dan membangun diri, banyak dari mereka justru sibuk mengatur keuangan rumah tangga, membayar cicilan keluarga, atau menjadi tempat bergantung bagi adik-adik.

Dan ironisnya, mereka melakukannya diam-diam, tanpa keluhan, karena takut dianggap tidak tahu balas budi.

Istilah sandwich generation awalnya digunakan untuk menggambarkan kelompok usia produktif yang terjepit secara finansial antara generasi orang tua dan anak-anak mereka.

Namun kini, fenomena ini juga mulai dirasakan oleh generasi yang lebih muda. Berdasarkan data dari Indozone Health (2024) menyebutkan bahwa 43% Gen Z di Indonesia telah masuk ke dalam kategori sandwich generation, yakni generasi yang memikul tanggung jawab keuangan bagi dua generasi sekaligus: orang tua dan saudara kandung.

Ironisnya, mayoritas belum mencapai kemandirian finansial, bahkan secara emosional pun masih dalam tahap mencari keseimbangan.

Namun, apakah semua ini adil?

Penelitian dari Ernst & Young (EY, 2023) menunjukkan bahwa hanya 31% Gen Z yang merasa aman secara finansial.

Sebanyak 52% lainnya sangat khawatir tidak memiliki cukup uang untuk kebutuhan dasar, dan 39% takut membuat keputusan finansial yang salah.

Di tengah tekanan semacam ini, rasa aman finansial menjadi sesuatu yang langka, dan bukan lagi tentang gaya hidup, melainkan soal bertahan hidup.

Fenomena ini paling kuat dirasakan oleh mereka yang lahir sebagai anak pertama. Dalam budaya Timur seperti Indonesia, posisi ini sering kali datang dengan ekspektasi tinggi: menjadi panutan, mandiri lebih cepat, dan "membalas budi" kepada orang tua.

Narasi ini tertanam sejak kecil, baik secara sadar maupun tidak. Maka tak heran jika banyak anak pertama Gen Z merasa tertekan untuk segera sukses, cepat lulus, mendapatkan pekerjaan mapan, dan mulai membantu keluarga.

Di satu sisi, mereka ingin mengejar mimpi, melanjutkan studi, atau sekadar menikmati masa muda. Tapi di sisi lain, muncul rasa bersalah jika terlalu memikirkan diri sendiri.

Rasa bersalah ini mengarah kepada keputusan-keputusan sulit: menunda pendidikan demi bantu bayar adik sekolah, menolak tawaran kerja di luar kota karena harus menemani orang tua, atau mengalihkan dana tabungan pribadi untuk kebutuhan rumah.

Semua dilakukan karena mereka tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan bahwa pengorbanan adalah bentuk cinta tertinggi.

Lama-lama, pengorbanan itu menjadi pola, bahkan dianggap satu-satunya cara untuk menjadi anak yang membanggakan.

Tekanan ini tentu tidak datang tanpa konsekuensi. Banyak dari Gen Z yang mengalami burnout, kecemasan, bahkan kehilangan semangat menjalani hidup. Mereka merasa tidak cukup baik, tidak cukup cepat, dan seolah tidak punya ruang untuk gagal.

Di sisi lain, mereka hidup di era yang menggembar-gemborkan self-care dan narasi "put yourself first", yang sering kali terasa jauh dari kenyataan.

Karena bagaimana bisa fokus menjaga Kesehatan mental jika di rumah masih ada adik yang belum bisa bayar SPP, atau orang tua yang sudah tak bekerja?

Tekanan finansial ini bukan hanya membuat mereka lelah, tapi juga berdampak pada kesehatan mental. Di Indonesia sendiri, fenomena ini diperparah oleh budaya "berbakti" yang seringkali ditafsirkan sebagai "mengorbankan diri demi keluarga".

Banyak dari mereka merasa bersalah jika menolak membantu orang tua, bahkan ketika itu mengorbankan kesehatan mental kami sendiri.

Mungkin sudah waktunya kita meninjau ulang makna "berbakti". Apakah benar menunjukkan cinta pada keluarga harus berarti menahan diri dari tumbuh dan berkembang?

Tidak bisakah keberhasilan pribadi juga dianggap sebagai bentuk pengabdian?

Mereka tidak sedang ingin lari dari tanggung jawab. Mereka hanya ingin didengar.

Mereka ingin ruang untuk bertumbuh tanpa dibebani ekspektasi yang tidak realistis. Mereka ingin belajar mencintai keluarga tanpa harus kehilangan diri sendiri.

Penulis: Michelle Victoria Ashlee, Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang memiliki ketertarikan pada isu-isu sosial dan dinamika perilaku generasi muda.

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Link Live Streaming dan Jadwal Timnas Indonesia vs Irak di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Link Live Streaming dan Jadwal Timnas Indonesia vs Irak di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Tutup Celah Kebocoran Layanan Haji, Kemenhaj Gandeng Kejaksaan Agung RI

Tutup Celah Kebocoran Layanan Haji, Kemenhaj Gandeng Kejaksaan Agung RI

Gus Irfan Resmi Dilantik Jadi Menteri Haji dan Umrah. Menteri Baru Diharapkan Ramah, Terbuka dan Jalankan Smart Haji

Gus Irfan Resmi Dilantik Jadi Menteri Haji dan Umrah. Menteri Baru Diharapkan Ramah, Terbuka dan Jalankan Smart Haji

Polda NTT-PW Ansor dan PW Pemuda Muhammadiyah Sepakat Perkuat Kamtibmas

Polda NTT-PW Ansor dan PW Pemuda Muhammadiyah Sepakat Perkuat Kamtibmas

Serukan Pesan Damai dari Jateng untuk Indonesia, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Lintas Agama Gelar Doa Bersama di Wisma Perdamaian

Serukan Pesan Damai dari Jateng untuk Indonesia, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Lintas Agama Gelar Doa Bersama di Wisma Perdamaian

Singgih Januratmoko: Pejabat Publik Harus Jadi Teladan Bagi Generasi Muda Saat Nilai Kebangsaan Kita Diuji

Singgih Januratmoko: Pejabat Publik Harus Jadi Teladan Bagi Generasi Muda Saat Nilai Kebangsaan Kita Diuji

Komentar
Berita Terbaru