Gunakan Kwitansi Kosong, Proses Pembayaran Hak Pekerja Pabrik Mancis Dikecam
digtara.com | MEDAN – Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Musa Rajekshah, mengecam penggunaan kwitansi kosong dalam proses pembayaran hak-hak pekerja korban pabrik mancis PT Kiat Unggul yang terbakar di Langkat, Sumatera Utara pada 17 Juni 2019 lalu.
Baca Juga:
Musa menilai penggunaan kwitansi kosong tidak sesuai dengan hukum dan berpeluang terjadinya manipulasi. Ia memastikan tidak akan mengizinkan pihak-pihak terkait untuk melakukannya lagi, terutama manajemen PT Kiat Unggul.
“Kalau mereka (manajemen perusahaan) minta keluarga korban menandatangani kwitansi kosong, berarti ada apa-apanya,” tegas dia seusai mengadakan pertemuan dengan serikat buruh dan keluarga korban, Rabu (17/7).
Namun Wagub juga mengakui belum dapat mematikan apakah memang benar pihak perusahaan telah melakukannya atau tidak. Dia mendapat laporan mengenai hal itu dari pihak keluarga korban pada saat pertemuan.
Pertemuan tersebut digelar dalam merespon aksi massa yang tergabung dalam Aliansi Pekerja Buruh Daerah Sumatera Utara (APBDSU).
Mereka mendatangi kantor DPRD Sumut dan kantor Gubernur untuk mendesak penyelesaian hak-hak para pekerja pabrik mancis yang tewas dalam peristiwa kebakaran di Desa Sambirejo, sebulan lalu.
Dalam pertemuan itu, dari penjelasan perwakilan keluarga korban terungkap bahwa manajemen perusahaan sempat mengeluarkan surat dan kwitansi kosong bermaterai. Itu terjadi sekitar seminggu lalu di Balai Desa Sambirejo.
Edy Prayoga, suami korban atas nama Safitri, mengatakan manajemen perusahaan didampingi perangkat desa mengumpulkan semua keluarga korban kebakaran.
Saat itu manajemen perusahaan akan memberikan uang sebesar Rp25 juta per korban, tetapi dengan syarat, pihak keluarga harus menandatangani surat dan kwitansi kosong yang sudah dibubuhi materai.
Namun hal ini ditolak oleh sebagian besar keluarga korban karena menggunakan lembaran dokumen kosong. Manajemen perusahaan pun tidak bersedia menjelaskan kepada mereka mengapa menggunakan dokumen kosong.
“Yang mau menandatanganinya ketika itu sekitar 10 keluarga korban, sedangkan sebagian besar lain, termasuk saya, menolaknya,” ujar Edy.
Selain soal kwitansi kosong, Wagub juga mengatakan Pemprov Sumut tidak memiliki jumlah SDM yang cukup untuk mengawasi seluruh kegiatan industrial di daerahnya.
Karena itu butuh dukungan dari Pemkab/Pemkot, serikat pekerja, berbagai stake holder terkait lain serta masyarakat.
“Kami minta bantuan informasi kalau ada home industri yang tidak mempunya izin tolong sampaikan ke pihak aparat atau pemerintah setempat,” kata Musa.
Operasional industri tidak berizin atau ilegal menurut dia hanya akan menyengsarakan pekerjanya, seperti yang terjadi dalam kasus ini. PT Kiat Unggul tidak mengantongi izin dalam pengoperasian rumah perakitan mancis di Desa Sambirejo.
Karena itu, hak-hak normatif pekerja akan sulit diperoleh, apalagi perusahaan juga tidak memberikan kontrak kerja dan mendaftarkan kepesertaan BPJS kepada pekerja.
Namun demikian, dia memastikan Pemprov akan terus mengawal para keluarga pekerja yang menjadi korban, mendapatkan hak-haknya, sesuai dengan aturan.
“Meskipun saat ini sedang menjalani proses hukum, pengusahanya juga harus menyelesaikan hak-hak pekerja,” tegas Wagub.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumut Harianto Butarbutar memastikan sejauh ini pihak perusahaan belum membayar hak-hak pekerja yang tewas dalam peristiwa Sambirejo.
Para keluarga korban baru memperoleh santunan dari sejumlah pihak, seperti Dinas Sosial Sumut (Rp15 juta per korban), Kemenakertrans (Rp1 juta per korban dan Pemkab Langkat (Rp2,5 juta per korban) serta dari Polri.
[AS]