Sabtu, 11 Oktober 2025

Kepastian Kawasan, Kesejahteraan Masyarakat: Sinergi BPKH dan Direktorat PUPS dalam Perhutanan Sosial

Redaksi - Sabtu, 11 Oktober 2025 06:45 WIB
Kepastian Kawasan, Kesejahteraan Masyarakat: Sinergi BPKH dan Direktorat PUPS dalam Perhutanan Sosial
ist
Dr. Hengky Wijaya, S.Hut, M.Si

Program Perhutanan Sosial (PS) merupakan salah satu instrumen kebijakan paling transformatif di sektor kehutanan Indonesia. Kebijakan ini mewakili pergeseran paradigma, dari pengelolaan hutan yang sentralistik dan eksploitatif, menuju model yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat. Tujuan utamanya adalah mencapai dua pilar keberlanjutan: pelestarian fungsi ekologis hutan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang secara historis terpinggirkan dari akses kelola hutan.

Baca Juga:

Meskipun terlihat sederhana, implementasi Perhutanan Sosial adalah proses yang kompleks dan berjenjang. Keberhasilannya sangat bergantung pada sinergi dan koordinasi antarinstansi yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Dalam konteks ini, dua unit kerja memiliki peran yang sangat menentukan, mewakili tahapan hulu (legalitas) dan hilir (ekonomi) dari program ini: Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan Direktorat Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial (PUPS).

Tanpa kepastian data dari BPKH, izin PS akan rentan konflik. Tanpa pendampingan usaha dari PUPS, izin PS hanya akan menjadi secarik kertas tanpa dampak ekonomi. Tulisan ini akan mengupas tuntas keterkaitan dan sinergi tak terpisahkan antara tugas dan fungsi BPKH dengan Direktorat PUPS, khususnya dalam konteks memperkuat fondasi program Perhutanan Sosial di wilayah seperti yang kami tangani di BPKH Wilayah XIV Kupang.
Peran BPKH dalam Perhutanan Sosial

Sebagai Kepala BPKH, saya melihat tugas kami sebagai penentu "apa, di mana, dan bagaimana" batasan hutan itu diakui negara. BPKH berada di bawah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, yang fokus pada aspek perencanaan dan tata ruang kehutanan. Batas Kawasan Hutan bersifat dinamis akibat dari program pemerintah (contoh program unggulan penyediaan lahan untuk sekolah rakyat Garuda dan penyediaan lahan untuk ketahanan pangan. air dan energi) maupun kegiatan rutin seperti kegiatan penataan batas Kawasan hutan dan penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH).

A. Tugas Pokok BPKH: Menetapkan dan Mempertahankan Batas

Tugas utama BPKH, sebagaimana diatur dalam regulasi, berpusat pada proses pengukuhan kawasan hutan, yang mencakup:

  • Pelaksanaan Penataan dan Rekonstruksi Batas: Ini adalah inti dari pekerjaan kami. Penataan batas dilakukan untuk menetapkan secara definitif batas-batas fisik kawasan hutan di lapangan. Kegiatan ini tidak hanya berupa pemancangan patok batas dan mendokumentasikannya untuk mendapatkan letak, luas dan batas Kawasan hutan yang nyata di lapangan. Kegiatan ini juga harus mendapatkan pengakuan dari masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan hutan, sehingga harus diumumkan, dan dibahas oleh Panitia Tata Batas (PTB). Unsur PTB meliputi perwakilan pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, camat dan unit pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan terkait. Pelibatan pemerintah desa juga dipertimbangkan dimana pihak desa dan masyarakat diajak musyawarah mengenai batas Kawasan hutan. Pelibatan para pihak dan pemancangan batas merupakan wujud nyata untuk mengupayakan batas Kawasan hutan yang legal dan legitimate.
  • Pemetaan Kawasan Hutan: Seluruh hasil penataan batas diolah menjadi produk peta geospasial yang akurat dan sah. Peta-peta ini adalah sumber informasi tunggal mengenai status dan fungsi kawasan hutan (Hutan Konservasi, Hutan Lindung, Hutan Produksi). BPKH mengelola data spasial ini dan menyajikannya dalam Sistem Informasi Geografis (SIG). Dalam perkembangannya, seiring dengan adanya Kebijakan Satu Peta (KSP), hampir semua kegiatan yang terkait dengan pemanfaatan dan penggunaan lahan (termasuk perhutanan sosial) memerlukan klarifikasi Kawasan hutan dari BPKH Wilayah XIV
  • Verifikasi Penguasaan Tanah: BPKH melakukan inventarisasi dan verifikasi terhadap klaim atau penguasaan tanah oleh pihak lain di dalam kawasan hutan. Klaim dan penguasaan tanah dalam Kawasan hutan bukan merupakan hal rahasia lagi merupakan hal yang terjadi pada sebagian besar Kawasan hutan di Indonesia. Aspek ini krusial dalam Perhutanan Sosial, karena tujuannya adalah memitigasi konflik tenurial sebelum hak kelola diberikan.
  • Penilaian Teknis Areal Persetujuan PS: BPKH secara spesifik melakukan penilaian teknis tata batas areal yang diajukan untuk Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial. Kami bersama dengan UPT Ditjen Perhutanan Sosial memverifikasi apakah koordinat yang diajukan pemohon (kelompok masyarakat) secara teknis memenuhi syarat dan tidak bertabrakan dengan peruntukan hutan lainnya atau batas kawasan yang sudah ada.
B. Kontribusi BPKH terhadap PS

Kontribusi BPKH dalam Perhutanan Sosial dapat diibaratkan sebagai penyediaan sertifikat tanah yang sah bagi masyarakat. Dengan adanya peta dan data BPKH:

  • Kepastian Hukum: Kepastian hukum areal Kelola dimulai dengan kejelasan batas. BPKH berperan dalam kegiatan penandaan batas areal pemegang persetujuan perhutanan sosial. Masyarakat memiliki dasar hukum yang kuat atas areal kelola PS (Hutan Kemasayarakatan, Hutan Tanaman rakyat, Hutan Desa, Kemitraan Konservasi, Hutan Adat). Kepastian ini mendorong keberanian mereka untuk melakukan investasi jangka panjang (menanam pohon, membangun infrastruktur). Dampak lain yang diharapkan adalah dibukanya akses pembiayaan perbankan dari kegiatan perhutanan sosial.
  • Mitigasi Risiko: BPKH membantu menghindari tumpang tindih kawasan dengan izin usaha lain (HPH/HTI) atau kawasan yang memiliki status konservasi ketat, sehingga meminimalkan risiko konflik dan pembatalan izin di kemudian hari. Contoh kongkret dari adanya tumpeng tindih yang telah terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah Kawasan Taman Nasional Mutis Timau dengan PS di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
  • Dasar Perencanaan: Peta Kawasan hutan yang disusun berdasarjan hasil pengesahan penataan batas yang dilakukan oleh BPKH menjadi dasar perencanaan mikro bagi masyarakat pengelola. Masyarakat diharapkan melalui pegetahuan lokal dapat mengetahui letak, luas dan batas dari areal mereka untuk menentukan zonasi pemanfaatan, misalnya, untuk agroforestri, HHBK, atau area lindung lokal. Tanpa output dari BPKH, program PS akan dibangun di atas fondasi yang rapuh dan rawan digugat.
Peran Direktorat PUPS: Penguatan Ekonomi dan Kelembagaan (Hilir)

Setelah BPKH memberikan kepastian hukum kawasan (lahan yang clear and clean), peran Direktorat Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial (PUPS), di bawah Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, mengambil alih untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan. Tugas PUPS adalah memastikan bahwa izin kelola yang sudah didapatkan masyarakat dapat menghasilkan nilai ekonomi yang optimal.

A. Tugas Pokok PUPS: Dari Kelola Hutan Menjadi Bisnis

  • Tugas utama PUPS sangat berorientasi pada aspek bisnis, pemberdayaan, dan pasar. Fokusnya adalah pada implementasi kebijakan di bidang pengembangan usaha PS, meliputi:
  • Penguatan Kelembagaan Usaha: PUPS memfasilitasi pembentukan dan pengembangan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Kelembagaan ini harus diperkuat agar mampu bertindak sebagai entitas bisnis yang solid, bukan sekadar kelompok tani biasa.
  • Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Produk: PUPS menyediakan bimbingan teknis dan pendampingan untuk meningkatkan teknik budidaya, pengolahan hasil (pasca-panen), dan pengendalian mutu produk agar sesuai dengan standar pasar.
  • Penguatan Kewirausahaan: Ini mencakup pelatihan manajemen bisnis, penyusunan rencana usaha, dan peningkatan kemampuan pemasaran. Tujuannya agar KUPS dapat mandiri, berorientasi laba, dan memiliki daya saing.
  • Fasilitasi Akses Pasar dan Permodalan: PUPS menjadi jembatan untuk menghubungkan KUPS dengan pasar yang lebih luas (baik domestik maupun internasional), serta memfasilitasi akses terhadap sumber permodalan dari lembaga keuangan atau investor.
B. Dampak PUPS terhadap Keberlanjutan PS

Direktorat PUPS memastikan bahwa upaya konservasi yang dilakukan masyarakat memiliki reward ekonomi yang sepadan.

  • Peningkatan Kesejahteraan: Fasilitasi usaha oleh PUPS secara langsung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat pengelola hutan. Kesejahteraan ini menjadi insentif terkuat bagi mereka untuk menjaga kelestarian hutan.
  • Inovasi dan Diversifikasi: PUPS mendorong diversifikasi usaha, misalnya dari sekadar menjual kayu log menjadi produk olahan, pengembangan madu hutan, kopi, minyak atsiri, atau jasa lingkungan seperti ekowisata.
  • Ketahanan Program: Ketika KUPS sudah mandiri secara ekonomi, program Perhutanan Sosial akan lebih berkelanjutan, tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bantuan pemerintah atau donatur.
Mekanisme Sinergi: Menghubungkan Peta dan Pasar

Sinergi antara BPKH dan PUPS tidak terjadi secara otomatis; ia harus dibangun melalui koordinasi yang terstruktur, mewakili transisi yang mulus dari kepastian lahan ke kepastian usaha.

A. Tahap I: Pra-Akses dan Legalitas (Peran BPKH Dominan)

Pada tahap awal pengajuan PS, BPKH memainkan peran sentral dalam:

  • Verifikasi Lokasi: BPKH memastikan bahwa lokasi yang diajukan pemohon PS berada di dalam kawasan hutan yang dapat dialokasikan (misalnya, Hutan Produksi atau Hutan Lindung tertentu) dan tidak berada di kawasan konservasi dengan larangan pemanfaatan tinggi.
  • Penerbitan Peta Kerja: Hasil verifikasi BPKH (peta definitif areal kelola) menjadi lampiran vital dalam Surat Keputusan (SK) Persetujuan PS. Peta ini adalah dokumen resmi yang menegaskan "di sinilah Anda boleh beraktivitas."
B. Tahap II: Pasca-Akses dan Pengembangan (Peran PUPS Dominan)

Setelah SK PS terbit, PUPS segera menggunakan data spasial BPKH sebagai dasar perencanaan:

  • Perencanaan Usaha Berbasis Lahan: KUPS, dengan bimbingan PUPS, menyusun Rencana Kerja Usaha (RKU) berdasarkan batas-batas lahan yang sudah dipastikan oleh BPKH. KUPS dapat merencanakan lokasi untuk nursery, kebun agroforestry, atau trek ekowisata tanpa takut salah lokasi.
  • Penguatan Kelembagaan di Areal Aman: Dukungan dan pendampingan PUPS menjadi lebih efektif karena dilakukan di areal yang sudah bebas sengketa. Hal ini meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dan investor.
C. Mekanisme Umpan Balik (Kontrol dan Adaptasi)

Sinergi juga terjadi dalam bentuk umpan balik:

  • Jika terjadi konflik batas baru di lapangan (masalah tenurial) di tengah kegiatan usaha KUPS, PUPS akan melaporkannya kembali kepada BPKH untuk dilakukan verifikasi dan penataan batas ulang, memastikan lingkungan usaha tetap aman.
  • BPKH dapat menggunakan informasi tentang jenis komoditas yang dikembangkan KUPS (data dari PUPS) untuk memperkaya data inventarisasi sumber daya hutan, sehingga perencanaan kehutanan wilayah (tugas BPKH lainnya) menjadi lebih holistik.
V. Tantangan dan Harapan

Meskipun sinergi ini ideal, tantangan di lapangan, khususnya di wilayah seperti Nusa Tenggara Timur yang ditangani BPKH Kupang, masih besar:

  • Akurasi Data Dasar: Keterbatasan anggaran dan kondisi geografis sulit seringkali menghambat percepatan penataan batas definitif kawasan hutan (tugas BPKH), yang pada akhirnya menahan laju penerbitan izin PS dan pengembangan usaha PUPS.
  • Konflik Penguasaan lahan: Permasalahan adat/kelompok masyarakat tertentu terhadap Kawasan hutan dapat berdampak pada kepastian lahan. Pelibatan para pihak dengan mengedepankan saling menghargai dan saling menguntungkan harus dikedepankan untuk menjamin suksesnya program PS.
  • Kesenjangan Kapasitas: Masih banyak KUPS yang memiliki izin legal, namun lemah dalam manajemen usaha dan akses pasar (tantangan PUPS), sehingga potensi ekonomi kawasan belum termanfaatkan optimal.
  • Koordinasi Lintas Eselon: Diperlukan mekanisme koordinasi yang lebih cair dan terintegrasi antara BPKH sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dirjen Planologi dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (UPT mitra PUPS) sebagai UPT Dirjen PSKL di lapangan.
Harapannya adalah sinergi ini terus diperkuat melalui penggunaan Sistem Informasi Kehutanan yang terpadu. Data spasial kawasan yang valid dari BPKH harus dapat diakses secara real-time oleh PUPS untuk memandu pendampingan usaha, alokasi program, dan fasilitasi akses permodalan.

Hanya dengan menyatukan kekuatan kepastian kawasan (BPKH) dan pengembangan usaha (PUPS), kita dapat memastikan bahwa Perhutanan Sosial bukan hanya sekadar program sosial, tetapi benar-benar menjadi pilar utama dalam membangun ekonomi hijau yang berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Penulis: Dr. Hengky Wijaya, S.Hut, M.Si, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIVPenulis: Dr. Hengky Wijaya, S.Hut, M.Si, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIV

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru