Raja-raja Timor Dukung Pembentukan TN Mutis Timau

digtara.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menanggapi kesalahpahaman perubahan fungsi cagar alam Mutis Timau, NTT.
Baca Juga:
Pada 8 September 2024 lalu telah dideklarasikan pembentukan Taman Nasional Mutis Timau yang merupakan taman nasional ke-56 di Indonesia melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 946 Tahun 2024 tentang perubahan fungsi dalam fungsi pokok Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional dan perubahan fungsi antar fungsi pokok Kawasan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) seluas 78.789 hektar.
Luas Taman Nasional tersebut meliputi kawasan eks hutan lindung Mutis Timau seluas 66.473,83 hektar (84,37 persen dari luas TN) serta hutan konservasi eks Cagar Alam Mutis Timau seluas 12.315,61 hektar (15,63 persen dari luas TN).
Pasca dilakukannya deklarasi tersebut muncul beberapa pernyataan publik dan komunitas budaya yang menyesalkan dilakukannya perubahan fungsi kawasan cagar alam sebagai sebuah penurunan status, tidak dilakukannya dialog dengan tokoh adat, tidak ada naskah akademik, kekhawatiran rusaknya hutan yang penting dalam tata air dan nilai budaya, hingga kecurigaan akan dibangunnya sarana wisata yang masif maupun kemungkinan eksploitasi bahan galian berupa logam berharga.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Ir. Arief Mahmud, M.Si pun menggelar pertemuan dengan sejumlah media dan tokoh adat serta raja-raja Timor.
Pertemuan di Hotel Harper Kupang pada Selasa (1/10/2024) membahas tentang perubahan fungsi Hutan Lindung dan Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional Mutis Timau.
Pertemuan menghadirkan pemangku adat/raja Amfoang (Kupang), Robby Manoh, pemangku adat/raja Mollo (TTS), Fillus Oematan, pemangku adat/raja Miomafo (TTU), Willem Kono dan peneliti BRIN, Dr Kayat.
Pemangku adat/raja Amfoang, Robby Manoh menyatakan dukungannya untuk pembentukan Taman Nasional mengingat terdapat kesamaan ketentuan pengelolaan taman nasional dengan ketentuan adat, dimana diatur larangan untuk melakukan pemanfaatan secara berlebihan dalam pemanfaatan hasil alam berupa madu, satwa liar dan lain-lain.
Pemangku adat/raja Mollo, Fillus Oematan menyatakan mendukung perubahan fungsi ini karena akan memberikan dampak baik kepada masyarakat dan tetap melindungi situs-situs adat yang ada dalam kawasan hutan.
Sementara Willem Kono, pemangku adat/ Raja Miomafo memahami latar belakang dan tujuan perubahan fungsi Cagar Alam dan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional, namun memberi catatan untuk sedapat mungkin menghindari investor asing yang masuk dalam pengelolaan Taman Nasional.
Terkait kekhawatiran akan rusaknya hutan akibat aktivitas pembangunan oleh investor, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Arief Mahmud menyebutkan perlu dipahami bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional dilakukan pembagian ruang yang dilakukan sesuai kriteria kondisi biofisik, keberadaan satwa dan tumbuhan liar, kondisi landscape, keberadaan situs budaya/ sejarah serta aspek lainnya.
Pengaturan zonasi meliputi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah serta zona khusus.
Selanjutnya pada zona pemanfaatan akan dilakukan pengaturan menjadi ruang usaha dan ruang publik.
Proses pembangunan sarana wisata pada kawasan Taman Nasional sesuai ketentuan peraturan perundangan memang dimungkinkan, namun hal tersebut hanya dapat dilakukan di ruang usaha pada Zona Pemanfaatan.
Dengan pengaturan ruang ini maka aktivitas investor tidak akan terjadi pada wilayah selain ruang usaha pada zona pemanfaatan.
Pengaturan zona ini juga akan membatasi akses pada kawasan taman nasional, masyarakat hanya dapat melakukan aktifitas pada kawasan Taman Nasional yang sesuai dengan peruntukan zona, tidak diperkenankan melakukan aktifitas wisata pada Zona inti.
Terhadap pemberitaan yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serta kekeliruan mengambil sikap, maka disampaikan bahwa dalam terminologi perubahan fungsi kawasan hutan termasuk perubahan fungsi dari Hutan Lindung dan Cagar Alam menjadi Taman Nasional, tidak dikenal istilah penurunan fungsi.
Perubahan fungsi tersebut merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan dan kegiatan eksisting yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Dengan fungsi sebagai Cagar Alam, maka aktivitas pemanfaatan yang dapat dilakukan hanya untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
Sedangkan aktivitas eksisting yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain mengambil madu hutan, mengambil kayu bakar, mengambil lumut dan jamur, pemanfaatan air, menggembalakan ternak, melakukan acara ritual agama/budaya/religi serta wisata alam, dengan fungsinya sebagai Cagar Alam maka semua aktivitas tersebut tidak dimungkinkan.
"Upaya perubahan fungsi menjadi taman nasional akan mengakomodasi semua kepentingan tersebut," ujarnya
Pada saatnya setelah dilakukan pengaturan zonasi pengelolaan, akan dilakukan alokasi kawasan untuk kepentingan perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya pada zona inti dan zona rimba.
Pada sisi lain aktivitas masyarakat selama ini akan diakomodasi dan dimungkinkan secara legal melalui alokasi zona tradisional, zona religi dan zona pemanfaatan.
Tidak semua bagian kawasan akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan untuk kepentingan wisata.
Dalam proses pengaturan zonasi akan dilakukan upaya konsultatif dengan semua unsur masyarakat termasuk masyarakat adat dan pemerintah melalui konsultasi publik.
Dikatakan bahhwa perubahan fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau ditempuh sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Proses tersebut meliputi usulan/ proposal, penelaahan dokumen usulan pada Ditjen Planologi Kehutanan dan tata lingkungan, pembentukan tim terpadu, studi/penelitian lapangan oleh tim terpadu, penyampaian laporan dan rekomendasi oleh Timdu kepada Menteri LHK, proses penelaahan laporan serta penerbitan Keputusan Menteri LHK.
Tim terpadu memiliki pilihan untuk tidak merekomendasikan perubahan fungsi, merekomendasikan sebagian ataupun merekomendasikan seluruhnya.
Tim Terpadu perubahan Fungsi Hutan Lindung Mutis Timau dan Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional Mutis Timau melalui salah satu anggotanya Dr Kayat seorang peneliti BRIN menjelaskan bahwa Tim terpadu yang dibentuk Kementerian LHK meliputi unsur Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Perguruan Tinggi Negeri, Direktorat Jenderal PKTL, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Sekretariat Jenderal Kementerian LHK, Dinas Provinsi yang membidangi Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Balai/institusi pengelola Kawasan hutan konservasi yang diusulkan dan instansi lain yang terkait.
Wakil dari lembaga/instansi Pemerintah yang ditunjuk dalam Tim Terpadu harus memenuhi syarat pengalaman dan memiliki latar belakang bidang ilmu dan kompetensi yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian terpadu meliputi bidang: biofisik, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan.
Tim Terpadu bekerja dengan metode ilmiah sehingga menghasilkan naskah hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hasil penelitian Tim terpadu adalah bahwa usulan perubahan fungsi dari kawasan Cagar Alam Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas kurang lebih 12.315,61 hektar.
Selain itu usulan perubahan fungsi dari kawasan hutan lindung Mutis Timau yang terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur direkomendasikan sebagian seluas kurang lebih 66.473,83 hektar direkomendasikan untuk diubah fungsi menjadi Taman Nasional.
Tidak seluruh luasan lawasan Hutan Lindung yang diusulkan menjadi Taman Nasional (102.125 hektar) disetujui oleh Tim Terpadu.
Hal ini dilakukan mengingat pada lokasi tersebut ditemukan terdapat program perhutanan sosial, persetujuan penggunaan kawasan hutan dan indikasi penyelesaian penguasaan tanah dalam rangka penataan kawasan hutan (PPTPKH).
Proses dialog perubahan menjadi Taman Nasional sudah dilakukan jauh pada saat dilakukan kegiatan Evaluasi Kesesuaian Fungsi Cagar Alam sebelum dilakukannya proses usulan perubahan fungsi.
Selanjutnya dalam proses penelitian lapangan oleh Tim Terpadu dalam proses usulan perubahan fungsi, telah dilakukan dialog melalui diskusi terpimpin bersama komunitas masyarakat yang dilakukan di Desa Fatumnasi Kecamatan Fatumnasi (masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Nunbena)
Juga di Desa Mutis Kecamatan Fatumnasi (masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Mutis Nuapin)
Dialog juga di Desa Netemnanu Kecamatan Amfoang Timur (masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Mutis Honuk),
Kemudian di Kelurahan Lelogama Kecamatan Amfoang Selatan, Desa Oh Aem, Desa Tasinifu Kecamatan Mutis (masyarakat dan tokoh adat Kefetoran Aplal). Selanjutnya Desa Bonleu Kecamatan Tobu.
Pemerintah menghormati pendapat setiap warga masyarakat.
Komunikasi dengan tokoh adat setempat baik Pemangku Adat Kerajaan Amfoang, Kerajaan Mollo dan Kerajaan Miomafo saat ini terus dijalankan.
Sosialisasi kepada masyarakat luas juga terus dilakukan agar masyarakat memahami bahwa perubahan fungsi ini dilakukan untuk pengelolaan hutan konservasi yang lebih baik dan memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Kementerian LHK sampai dengan saat ini tidak pernah merencanakan pembangunan atau investasi wisata alam dalam bentuk yang masif di Taman Nasional Mutis Timau.
Selain itu dimungkinkan pula pembangunan sarana lain pada zona khusus misalnya pembangunan jalan, jaringan listrik dan komunikasi, pertahanan keamanan serta kegiatan lain sepanjang untuk kepentingan yang bersifat strategis dan tidak dapat dielakkan serta untuk penanggulangan bencana dan pemenuhan hajat hidup masyarakat.
Sebagaimana pemenuhan air bagi masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara serta pemenuhan kebutuhan jalan dan sarana listrik masyarakat di Desa Nenas, Desa Nuapin dan Desa Mutis yg terisolir karena berada di tengah Taman Nasional.
Dalam proses perubahan fungsi ini Kementerian LHK lebih fokus untuk upaya pelestarian Taman Nasional Mutis Timau yang terdiri dari wilayah eks Cagar Alam dan Hutan Lindung, perlu dikelola sebagai sebagai sebuah kesatuan bentang alam melalui sistem zonasi.
Hal ini penting untuk mempertahankan kondisi habitat, biofisik serta landscape kawasan Cagar Alam dengan tambahan ruang yang lebih luas dari eks kawasan hutan lindung.

TNI-Polri Patroli Perbatasan Sambil Cek Tapal Batas

WNA Timor Leste Terjaring Operasi Patuh Turangga di Atambua-Belu

Berbatasan Langsung Dengan Negara Lain dan Punya Tantangan, Komisi III DPR RI Beri Perhatian Khusus Pada Perbaikan Sarana Di Polda NTT

Jalin Persaudaraan Lintas Negara, Kapolda NTT Kunjungi PLBN Sakato Timor Leste

Polres Sumba Barat Daya Tahan Lima Tersangka Kasus Pembunuhan
