PON Papua, Bonus Samar-samar dan Prestasi Atlet Sumut di Titik Nadir

digtara.com – Pekan Olahraga Nasional (PON) tak cuma ajang prestasi, tapi juga pertaruhan gengsi daerah. Bila bicara gengsi, apapun dipertaruhkan termasuk guyuran uang dalam wujud bonus. Lantas sejauh mana bonus bisa mendongkrak prestasi sebuah daerah?
Baca Juga:
Di ajang PON XX, Gubernur Papua menjanjikan bonus Rp 1 miliar bagi peraih medali emas perseorangan, sementara Gubernur Kepulauan Riau menjanjikan Rp 350 juta, dan Gubernur NTB Rp 300 juta untuk sekeping medali emas.
Tapi banyak daerah termasuk Sumatera Utara yang nilai bonusnya masih samar-samar. Mungkin bagi daerah seperti Jawa Barat, DKI maupun Jawa Timur yang secara manajemen pembinaannya lebih baik, tak perlu cara instan seperti bonus untuk mendongkrak prestasi.
Jawa Barat misalnya, tidak memerinci nilai bonus peraih medali, namun sudah menganggarkan bonus senilai Rp300 miliar. Hasilnya, mereka mampu menjadi juara umum PON dengan 133 emas, 105 perak dan 115 perunggu (total 353 medali).
Namun bagi beberapa daerah seperti Sumut, bonus yang kongkrit semestinya sudah muncul sejak jauh-jauh hari. Contohnya, pada PON Jabar 2016, peraih emas dijanjikan Rp200 juta. Hasilnya, Sumut masih bisa bertahan di posisi 9 besar dengan 16 medali emas 17 perak 33 perunggu.
Jelang PON Papua, banyak janji bonus, namun tidak secara blak-blakan menyebutkan angka. Bagi orang Sumut, kepastian itu penting. Bukan soal jumlahnya saja, tapi berangkat ke ‘medan tempur’ tanah Papua harus dengan sebuah kepastian. Bukan tiba di arena dengan segudang tanya, apa dan berapa yang akan saya dapat setelah emas di genggaman?
PON bukan ajang profesional. Profesionalisme memastikan seorang atlet dibayar berdasarkan keringat yang ia kucurkan. Tapi PON tak menyediakan hadiah atau bayaran dari lelah Anda. PON adalah ajang jackpot. Sekali juara, seorang atlet akan punya materi yang cukup untuk membayar semua jerih payah selama bertahun-tahun.
PON soal medali emas! Bahkan perak pun terkadang tak dianggap, apalagi yang hanya sekadar peringkat keempat atau semifinalis.
Karena itu, buat apa membawa banyak atlet ke ajang itu jika prestasinya kita sudah tahu. Buat apa membawa para penggembira yang tak punya asa juara. Sebab, anggaran miliaran bakal terbuang percuma.
Bonus Tak Hanya Uang, Tapi Masa Depan
Pemberian bonus satu langkah wajar yang harus dilakukan pemerintah provinsi untuk memotivasi atletnya agar berprestasi gemilang di pentas nasional.
Sebab, sekeping emas itu tak cuma mendongkrak nama besar atlet tapi juga bakal melambungkan nama kepala daerah, pengurus dan menaikkan pamor daerah itu di kancah nasional.
Sekeping emas akan mendongkrak harga diri. Itulah mengapa upaya ‘halal’ seperti iming-iming kepastian bonus sangat lazim dilakukan.
Selain bonus uang, bonus pekerjaan itu tak kalah pentingnya. Pekerjaan dalam benak kita, kerap disamakan dengan masa depan.
Atlet tinju misalnya, sudah menghabiskan waktunya dan menyiapkan dirinya untuk dipukul sejak latihan hingga pertandingan, butuh kepastian masa depan. Sesuatu sesuatu yang layak untuk mereka perjuangkan.
Antara Integritas dan Uang
Sebagai jurnalis olahraga, banyak kisah ‘perselingkuhan’ yang kerap terdengar di kalangan olahragawan. Salah satunya soal negosiasi bonus.
Daerah yang tak menjanjikan bonus bagi atletnya kerap jadi alat nego bagi atlet daerah lain yang bonusnya melimpah.
Misalnya si A dijanjikan bonus Rp300 juta oleh daerahnya jika meraih emas dan perak cuma Rp 100 juta saja. Sementara si B tidak dipastikan jumlah bonus oleh daerahnya.
Ketika A dan B bertemu di final, terjadi negosiasi. A meminta B mengalah dengan janji memberikan Rp100 juta. Secara matematis, A lebih baik memberikan Rp100 juta kepada B daripada harus kalah di final dan merebut medali perak. Menang ia masih bisa bawa pulang Rp200 juta, sementara jika kalah (medali perak), cuma Rp100 juta.
Cerita itu mungkin cuma joke belaka. Tapi peluang itu pasti ada.
Pada PON XX ini, atlet peraih emas tuan rumah ini dijanjikan bonus Rp1 miliar. Dengan uang yang begitu besar, apa yang akan terjadi bila cerita soal nego bonus itu benar-benar ada?
Kita abaikan soal ada tidaknya kasus tersebut. Kita yakin banyak olahragawan yang masih memiliki integritas yang sangat baik.
Namun yang pasti, Papua sukses menyabet 93 medali emas, 66 perak, dan 102 perunggu. Bandingkan dengan PON sebelumnya yang hanya di peringkat ke-25 dengan 4 emas, 2 perak dan 10 perunggu.
PON tak menyediakan hadiah bagi juaranya. Medali emas, hanya bisa dipajang, tidak bisa dijual. Jadi atlet butuh kepastian apa yang mereka dapat setelah berprestasi.
Sebab, setelah PON usai, mereka akan kembali menghabiskan waktu lagi untuk rutinitas latihan dan hal-hal kecil yang membosankan. Mereka tak akan kuat bila tanpa arah dan kepastian.
Sumut hanya merebut 10 medali emas di PON Papua. Salah satu prestasi terburuk yang diraih daerah ini paling tidak dalam 2 dekade terakhir.
Prestasi atlet Sumut ada di titik nadir. Sudah terlampaui oleh Aceh, partner Sumut sebagai tuan rumah PON 2024.
Untuk membalikkan keadaan genting ini, tak cukup bicara pola pembinaan dan hal-hal teknis. Sebab manual book teknis pembinaan olahraga di Indonesia sudah sama rata.
Yang dibutuhkan adalah kepastian, keyakinan dan intergritas. Salam olahraga!
Penulis adalah jurnalis olahraga di Medan

Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur
