Harga Minyak Mentah Jatuh ke Titik Terendah Dalam Sepekan
digtara.com | JAKARTA – Harga minyak mentah pada perdagangan Rabu 24 Juli 2019 kemarin, mengalami penurunan terbesar dalam kurun waktu sepekan terakhir.
Baca Juga:
Kondisi ini diprediksi terjadi karena ketidakpastian atas kesehatan ekonomi global dan prospek peningkatan output Timur Tengah mengimbangi penurunan pasokan AS.
Minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September ditutup melemah 1,6 persen atau 0,89 poin ke level US$55,88 per barel di New York Mercantile Exchange, menghapus penguatan singkat menyusul data Energy Information Administration (EIA).
Sementara itu, minyak mentah Brent untuk kontrak September ditutup melemah 0,65 poin ke level US$63,18 per barel di ICE Futures Europe Exchange yang berbasis di London. Minyak mentah patokan global diperdagangkan lebih tinggi US$7,30 per barel dibandingkan WTI kontrak bulan yang sama.
Dilansir Bloomberg, permintaan tampak goyah menyusul data manufaktur yang mengecewakan di AS dan Eropa.
Sementara itu, Kuwait mengatakan pihaknya bekerja dengan Arab Saudi untuk melanjutkan produksi minyak di wilayah netral yang telah ditutup selama setidaknya empat tahun terakhir. Belum ada rencana waktu yang jelas, namun berpotensi menambah output hingga 500.000 barel per hari.
“Kuwait dan Arab Saudi sedang melihat beberapa rencana ekspansi yang cukup signifikan,” kata Ashley Petersen, seorang analis minyak di Stratas Advisors LLC di New York, seperti dikutip Bloomberg.
“Hal tersebut cukup untuk mempengaruhi pasar dan mengimbangi penurunan dari Venezuela dan Iran,” lanjutnya.
Berita ekonomi yang lesu membantu menghapus kenaikan di awal sesi yang dipicu oleh penurunan mingguan keenam secara berturut-turut dalam persediaan mimnyak mentah AS dan penurunan terbesar produksi dalam hampir dua tahun.
“Sepertinya pasar masih berkonsentrasi pada ketidakpastian ekonomi,” ungkap Josh Graves, analis senior di RJO Futures di Chicago, dalam sebuah wawancara.
EIA melaporkan bahwa persediaan minyak domestik menurun 10,8 juta barel dalam penurunan mingguan keenam berturut-turut, sekaligus kontraksi terpanjang sejak Januari 2018. Produksi dari ladang minyak AS turun paling besar sejak Oktober 2017, sebagian besar karena dampak Badai Barry di Teluk Meksiko awal bulan ini.
Prospek permintaan energi masih suram, dengan Dana Moneter Internasional memangkas proyeksi pertumbuhan global dan memperingatkan bahwa kebijakan perdagangan yang salah langkah dan masalah Brexit dapat menggagalkan rebound.
[AS]