Jumat, 29 Maret 2024

Kepentingan Politik Presidential Threshold

Redaksi - Jumat, 07 Januari 2022 06:46 WIB
Kepentingan Politik Presidential Threshold

digtara.com – Menjelang tahun politik 2024, ambang batas pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia atau yang familiar disebut presidential threshold kembali menjadi bahan perbincangan publik.

Baca Juga:

Mulai dari politisi tingkat elit hingga politisi abal-abal, dari akademisi hukum hingga akademisi abal-abal, dari tokoh masyarakat riil sampai tokoh masyarakat media sosial (medsos) online, dan salah satu trending di media-media online.

Objek pembicaraan menjadi hangat karena dipicu oleh seorang mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo (ditambah dukungan dari berbagai pakar dan gugatan WNI secara online dari luar negeri) yang melakukan gugatan atau judicial review. Dalam gugatan itu ia meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Dalam pasal tersebut mengatur ambang batas pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden (presidential threshold) yang mengatur bahwa pasangan calon Presiden-Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta Pemilu dengan memenuhi persyaratan memperoleh kursi sedikitnya 20% dari seluruh jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Gugatan mantan Panglima TNI itu bukanlah kali pertama sejak sistem presidential threshold diberlakukan di Indonesia. MK sebelumnya pernah menerima gugatan mengenai sistem presidential threshold tersebut.

Pihak penggugat itu mulai dari mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, hingga mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, semuanya ditolak oleh MK. Hingga saat ini, pada Pasal 22 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tetap dinyatakan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia (UUD NRI 1945).

Jika kita kembali ke belakang (sejarah) perjalanan Pemilu ke Pemilu, presidential threshold sudah ada dan berubah-ubah. Sistem presidential threshold pertama kali dirumuskan dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Merujuk pada UU tersebut, dalam Pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa ambang batas memperoleh sekurang-kurangnya 15% jumlah suara kursi di DPR atau 20% dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Ketentuan ini pun pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004.

Selanjutnya, lima tahun setelah itu, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, jumlah persentasi ambang batas berubah, tentu dengan dirubahnya UU Pemilu sebelumnya menjadi UU No. 42 Tahun 2008. Dalam UU ini ambang batas pencalonan pun menjadi 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Lagislatif (DPR). Lima tahun setelah Pilpres 2009 ini, tepatnya pada Pilpres 2014, sistem presidential threshold tidak berubah. Pilpres 2014 tetap mengacu pada UU No. 42 Tahun 2008.

Kemudian besaran presidential threshold kembali mengalami perubahan pada Pilpres 2019. Ketentuan perubahan ini diatur setelah diberlakukannya UU Pemilu yang baru, yaitu UU No. 7 Tahun 2017. Pada Pasal 222 UU tersebut menyebutkan bahwa pasangan calon Presiden-Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari total jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Mengamankan Kepentingan Politik Rezim

Dari sejak awal pemberlakuan sistem presidential threshold atau ambang batas pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden, menurut saya adalah untuk menjaga, mengamankan dan memperpanjang periode kekuasaan rezim. Jika pun di sana ada alasan etis dan akademis, itu hanya bagian terkecil saja, sebutlah baik secara teoretis. Sebab semenjak diberlakukan presidential threshold, calon petahana (incumbent) dipastikan kembali menang. Begitulah yang kita lihat empat kali Pipres yang lalu. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih dua kali, Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Joko Widodo (Jokowi) terpilih kedua kalinya pada Pilpres 2019 setelah sebelumnya memenangkan Pilpres 2014. Mereka pun sebenarnya bisa memenangkan Pilpres ketiga kalinya apabila Konstitusi Indonesia membolehkan Presiden-Wakil Presiden tiga periode. Penyebabnya karena parpol atau gabungan parpol dan di DPR yang memenuhi besaran ambang batas telah diamankan dan berada di pihak mereka.

Jadi benarkah penggugatan sistem presidential threshold menjadi 0% atau dihapuskan untuk menyelamatkan demokrasi? Benarkah sistem itu membatasi hak-hak “calon pemimpin” rakyat Indonesia yang tidak memiliki parpol? Atau sejenis pertanyaan lain yan mengandung makna menentang ketidak-adilan dalam Pilres?

Jika ‘ya’ berarti selama ini kita berduat dosa. Seluruh yang ada di DPR dan parpol telah mengkhianati rakyat bangsa dan negara. Semuanya bekerjasama dalam menghancurkan bangsa dan negara. Pertanyaan-pertanyaan di atas sama tujuannya dengan memberlakukan sistem tersebut. Jadi, semuanya itu adalah omong kosong. Yang pro dan kontra dengan sistem tersebut sama omong kosongnya.

Para pihak yang menggugat presidential threshold dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 karena terancam tidak bisa tampil dalam Pilpres 2024 disebabkan tidak melewati persyaratan ambang batas.

Mengapa tidak dari dulu dihapuskan? Bukankah setiap parpol dan pihak presiden (SBY dan Jokowi) pernah menikmati “buah manis” presidential threshold? Tapi kini elit politik dan kroni-kroninya banyak menggugat ambang batas itu karena tidak dapat memenuhi kepentingan politiknya untuk berkuasa lagi? bukankah ini semua telah menjadi dosa semua parpol yang menyepakati adanya sistem itu sejak dibentuknya UU No. 23 Tahun 2003 sampai berlakunya UU No. 7 Tahun 2017? Semuanya ini ternyata hanya kepentingan elit politik yang menjual demokrasi dan keadilan.

Penutup

Tetang mindset demokrasi, perlu ditegaskan bahwa perlu ada pembatasan di dalamnya. Demokrasi bukanlah kebebasan yang absolut. Dan dalam demokrasi janganlah diartikan bebas sebebas-bebasnya.

Demokrasi harus dikontrol untuk menjaga hak-hak setiap manusia. Pembatasan itu adalah berdasarkan sebuah hukum atau peraturan yang diberlakukan. Sungguh menjadi ide gila apabila pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden tidak ada pembatasan.

Menurut saya, masalahnya bukanlah pada presidential threshold atau ambang batas yang tinggi, toh selama ini Pilpres dapat berlangsung dengan adanya sistem itu.

Akan tetapi yang menjadi masalah adalah parpol atau gabungan parpol selalu gagal mengusung calon Presiden-Wakil Presiden ideal, yang benar-benar layak memimpin bangsa dan negara ini, dan yang benar-benar pemimpin untuk rakyat Indonesia. Pengusulan calon dilakukan bagaimana supaya kepentingan politiknya terpenuhi.

Parpol dan gabungan parpol masih berselingkuh dengan kaum oligarki dan korporasi, bahkan ia bagian darinya.

Di sini lah bentuk demokrasi yang diperkosa oleh kaum oligarki dan korporasi semakin tampak. Dan pelakunya adalah parpol itu sendiri, kecuali parpol yang berani melepaskan pasungan oligarki dan korporasi. Semuanya hanya kepentingan politik untuk berkuasa.

Penulis adalah penggiat literasi

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur

Kejati NTT Tahan Lima Tersangka Kasus Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo

Kejati NTT Tahan Lima Tersangka Kasus Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo

Komentar
Berita Terbaru