Jumat, 29 Maret 2024

Jangan Buru-buru Men-sahkan Nikah Virtual

Redaksi - Kamis, 25 Maret 2021 06:30 WIB
Jangan Buru-buru Men-sahkan Nikah Virtual

Oleh: H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc

Baca Juga:

Jangan Buru-Buru Men-sahkan Nikah Virtual
H. Rahmad Hidayat Nasution, LC

PASCA menjadi narasumber “Hukum Nikah Virtual di Masa Pandemi Covid-19” dalam format forum grup discussion (FGD) di aula MUI Kota Medan pada Rabu 24 Maret 2021 lalu, pemahaman saya menyatakan tidak buru-buru men-sahkan nikah virtual makin kuat. Apalagi, setelah mendengarkan pandangan Prof. Faisar Ananda Arfa, MA dan para pengurus MUI Kota Medan.

Baca: MUI Medan Gelar Muzakarah, Nikah Virtual Bolehkah?

Pernyataan untuk tidak buru-buru men-sahkan, mengacu kepada pemahaman bahwa proses akad nikah dan jual-beli (muamalah) itu hampir sama. Banyak yang mencoba menyamakannya, padahal tetap saja memiliki perbedaan. Di antara perbedaannya, akad jual-beli tidak membutuhkan saksi, tapi pernikahan membutuhkannya. Meski kedudukan saksi dalam pandangan empat mazhab berbeda-beda. Tapi ‘illat (sebab) memasukkan saksi dalam konstruksi nikah adalah untuk menyelamatkan dari tuduhan zina. Sedangkan akad jual-beli tak membutuhkan saksi. Tidak disyaratkan atau bahkan tidak dibutukan ada saksi yang memastikan bahwa barang ini miliki orang yang berakad.

Benar, sekilas, dalam mazhab Hanafi yang dibutuhkan dalam akad sebenarnya ijab-qobul. Namun tetap menjadi persoalan, jika ijab-qobul yang dilakukan tidak melihat atau mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan mazhab Hanafi. Jangan cuma diambil gampangnya proses ijab-qobulnya mazhab Hanafi saja. Tetap harus diperhatikan dengan benar konstruksi akad nikah versi mazhab Hanafi.

Di antaranya, dalam mazhab Hanafi, wali bukan rukun nikah, hanya masuk dalam kelompok wajib nikah. Bukan bagian dari pelaksana ijab-qobul, hanya sebagai pemberi izin nikah. Yang menjadi pelaksana akad nikah dalam mazhab Hanafi adalah suami-isteri lalu ada dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan.

Makanya, jika ada akad nikah virtual yang dilakukan prosesinya dengan bentuk terpisahnya antara wali dan suami, lalu proses akad dilakukan via zoom (baca; virtual) tentu saja ini cukup membingungkan? Jika mazhab Hanafi, adakah amanah perwakilan nikah dari anak ke ayahnya? Jika tidak ada, maka ini bukan mazhab Hanafi.

Selain mazhab Hanafi, wali termasuk rukun nikah. Ketika menjadikan wali sebagai rukun nikah, syaratnya adalah keharusan satu majelis antara wali dan mempelai pria, baik secara fisik atau bathin. Itu sudah kesepakatan dalam mazhab selain mazhab Hanafi. Sudah bisakah akad via zoom itu dikatakan majelis, jika dianggap sah?

Meski dikatakan apa yang dicetuskan oleh masing-masing mazhab adalah produk, tapi tetap saja kita tidak boleh menyepelekan atau bahkan mengesampingkan formulanya. Sebab yang namanya akad adalah kesepakatan untuk menimbulkan akibat hukum. Jika pernikahan, maka akibat hukum halalnya berhubungan suami-isteri berhubungan seksual atau selamat dari zina, lahirnya ketentuan mahram nikah, adanya hak waris-mewarisi dan lain-lain.

Baca: Muzakarah MUI Medan, Ini Dia Sah-Tidaknya Nikah Virtual Menurut Pandangan Empat Mazhab

Melihat konstruksi mazhab adalah hal yang urgen, sebab sudah jelas dalil-dalil yang mereka gunakan. Ketimbang kita ‘mencaplok sana-sini’ sehingga melahirkan seperti bentuk ‘mazhab baru’ yang terkadang lebih kepada persoalan kemudahan atau tercapainya hikmah, bukan melihat dari sisi ada dalilnya atau tidak.

Kita harus ingat, bahwa penetapan hukum lebih berkonsentrasi pada sebab (‘illat), bukan kepada hikmah. Apalagi hikmah itu tidak bersifat zhahir dan mundhabit, sehingga setiap orang bisa menilai hikmah tersebut dengan sudut pandang yang berbeda-beda.

Hemat saya, buru-buru melakukan talfiq akad nikah adalah hal yang perlu dipikir ulang dengan baik-baik, jika belum dilakukan pengkajian mendalam. Bukan pengkajian yang dilakukan hanya dua jam atau satu hari. Sebab talfiq nikah tersebut bisa-bisa seperti membentuk mazhab baru. Sehingga menimbulkan pertanyaan lanjutan, sudahkah kita punya kemampuan berijtihad? Jika paham talfiq tersebut dikonsumsi sendiri, tentu saja tidak masalah. Itu sah-sah saja. Tapi jika dikonsumsi oleh khalayak muslim dalam bentuk fatwa, dengan alasan kesulitan atau ketidakpuasan tentu saja ini kurang tepat.

Apalagi, masing-masing mazhab yang sudah ada telah memberikan formulanya untuk sahnya nikah jika tidak bisa dilakukan dalam majelis yang sama. Bagi mazhab Syafi’I misalnya, jika wali atau suami tidak bisa hadir, bisa dilakukan dengan proses wakil. Bukankah formula mazhab Syafi’I ini sudah diakui oleh banyak orang (jumhur), sudah berlalu cukup lama dan pastinya disertai dalil? Jika ingin menggunakan mazhab Hanafi, kenapa tidak wanita tersebut yang menikahkan diri sendiri, sedang wali cukup memberi izin dan melihat prosesi akad nikah via zoom yang dilakukan oleh anak perempuannya dengan laki-laki yang dijadikannya sebagai suami.

Jika prosesi akad nikah virtual yang dilakukan prosesinya tetap wali yang meng-ijab di satu daerah lalu suami yang mengqobul di daerah lain yang dilakukan via zoom, tentu saja ini memuncul banyak pertanyaan baru. Dibilang ini mazhab Syafi’I, jawabannya tentu saja tidak. Sebab dalam mazhab Syafi’I, jika tidak bisa hadir dalam satu majelis, yang dilakukan memberikan perwakilan. Jika dibilang mazhab Hanafi, yang menjadi persoalan apakah anaknya sudah mewakilkan pernikahan kepada orang tuanya? Apakah dalam mazhab Hanafi akad via zoom dikategorikan masih satu majelis?
Jika kita memilih talfiq mazhab nikah, apakah itu diperbolehkan? Jika diperbolehkan, sudah kita memenuhi syarat untuk melakukan talfiq?

Menurut Dr Wahbah Az-Zuhaily dalam kitab Al-fiqh Al-Islami wa adillatuhu (1/106), talfiq adalah perbuatan dua pendapat atau lebih dalam satu ibadah yang punya rukun dan syarat yang saling berkaitan, lalu ia melakukan talfiq tanpa memperhatikan syarat dan konsekuensinya tersebut.

Sehingga, orang tersebut tidak terlihat mengamalkan pendapat mazhab akan tetapi mendatangkan pendapat baru yang justru tidak ada satu ulama pun yang mengatakan demikian.

Untuk menyikapi kebijakan pengambilan hukum terhadap nikah virtual ini, saya lebih setuju dengan pernyataan Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Fatawa Mu’ashirah (2/121), “Sebagian ulama membolehkan talfiq, dan sebagian lainnya melarangnya. Sedangkan pendapatku, jika seseorang melakukan talfiq dengan hanya tatabbu’ rukhas (mencari keringanan) tanpa memperhatikan dalilnya, maka seperti ini tidak boleh. Namun jika melakukan talfiq dengan cara mengambil yang rajih dan kuat menurut pandangannya, maka talfiq semacam ini tidak mengapa’.

Penulis adalah narasumber tetap radio Alfatih 107.3 fm dan Sekretaris Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kota Medan.

 

Jangan Buru-Buru Men-sahkan Nikah Virtual

Ayo baca konten menarik lainnya dan follow kami di Google News
Editor
: Redaksi
SHARE:
Tags
Berita Terkait
Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Tabrak Dump Truk, Mahasiswa Undana Kupang Meninggal di Tempat

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Daftar Harga Emas Pegadaian Rabu 20 September 2023, Antam dan UBS

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Kasat Lantas Polres Sikka Dilaporkan ke Propam, Ini Kasusnya

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Mengenaskan! Jadi Korban Tabrak Lari, Mahasiswi di Kupang Meninggal Dunia

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur

Dua Pelaku Pencurian dengan Kekerasan Diamankan Polres Sumba Timur

Kejati NTT Tahan Lima Tersangka Kasus Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo

Kejati NTT Tahan Lima Tersangka Kasus Korupsi Persemaian Modern di Labuan Bajo

Komentar
Berita Terbaru