Krisis di Natuna, NU Sebut Mati Karena Membela Tanah Air Wajib Bagi Setiap Muslim
digtara.com | MEDAN – Organisasi islam, Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan pernyataan sikap terkait krisis yang kini terjadi di wilayah perairan Natuna. Krisis itu terjadi pasca pelanggaran batas wilayah oleh Kapal Patroli Keamanan Laut Tiongkok di wilayah tersebut.
Baca Juga:
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani Ketua Umum PB NU, KH Said Aqil Siraj dan Sekretaris PB NU, Helmi Faisal Zaini itu, NU mengingatkan bahwa membela keutuhan tanah air adalah kewajiban setiap muslim.
“Dalam pandangan NU, sebagaimana dinyatakan oleh pendiri NU, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain (wajib bagi setiap orang islam). Dan barang siapa mati demi tanah air, maka ia mati syahid,â€tulis pernyataan sikap yang diunggah akun resmi Nahdlatul Ulama di media sosial Twitter, Senin (6/1/2020).
HENTIKAN PROVOKASI
Dalam pernyataan sikap itu, NU mendesak agar Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan Indonesia. Wilayah perairan yang telah diakui dunia pasca penetapan oleh Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982.
Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yang telah diratifikasi sejak tahun 1994. Oleh karena itu, tindakan Kapal Patroli Laut Tiongkok mengawal kapal nelayan berbendera Tiongkok itu sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.
Pemerintah Tiongkok uga dianggap telah secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly, yang termasuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1974. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut China Selatan, yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok.
Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darusalam.
Sebagaimana diketahui, Filipina sebelumnya telah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada tahun 2013 lalu. Pengadilan arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag, Belanda pada tahun 2016, telah memutuskan seluruh klaim teritorial Tiongkok atas Laut Selatan China, tidak memiliki dasar hokum. Termasuk konsep nine dash line yang dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. Namun Beijing menolak keputusan itu.
PELANGGARAN KONVENSI INTERNASIONAL
Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut, merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia. Karena itu, NU mendukung setiap tegas Pemerintah RI terhadap Tiongkok.
“Dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Bakamla. Termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktifitas ilegal di seluruh perairan Indonesia. Ini sebagai manifestasi dari “Archipelagic State Principle†yang dimandatkan oleh Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957.
Dalam pernyataan sikap tersebut, NU meminta pemerintah Indonesia tidak lembek dan tidan menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. Meskipun Tiongkok merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia.
Keutuhan dan kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik di darat, di laut maupun di udara, adalah harga mati. Sesuatu yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apapun. Dalam jangka panjang, NU meminta Pemerintah mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik.
NU menyebutkan, Kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu, pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, jangan lagi disebut sebagai pulau terluar. Tetapi pulau terdepan.
Ketidaksungguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim. Termasuk geopolitik, ekonomi dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera. Termasuk potensi untuk memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat para bapak bangsa Indonesia.
[AS]