Ingin Kaum Miskin Terdidik, Sofyan Tan: Ini Balas Dendam Positif
digtara.com – Terlahir dari keluarga yang kurang mampu, tidak membuat sosok dari tokoh masyarakat Tionghoa ini enggan untuk berbagi. Ia kini dikenal sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, yakni dr. Sofyan Tan. Ingin Kaum Miskin Terdidik
Baca Juga:
Sofyan sampai saat ini masih tetap berkomitmen untuk berjuang di ranah dunia pendidikan. Ia masih berusaha keras untuk menopang anak – anak kurang mampu agar dapat berpendidikan, khususnya yang berada di Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Walhasil dalam kurun waktu 6 tahun ini, ia mampu menolong 180 ribu dari SD hingga SMA dan 2.500 mahasiswa melalui program Indonesia pintar. Padahal sebelum menjadi wakil, ia membutuhkan waktu 33 tahun untuk membantu 4.400 orang agar bisa belajar.
“Posisi saya sekarang, bukan hanya bisa membantu anak Medan tapi juga Deliserdang sampai kepada Tebingtinggi, Humbahas, Nias dan sebagainya,†katanya.
Namun di balik perjuangannya tersebut, ada memori buruk yang sempat menimpanya.
Baca:Â Sofyan Tan Ajak Masyarakat untuk Tidak Golput Pada Pilkada 9 Desember
Sofyan mengungkapkan bahwa pengalamannya menjadi orang miskin serta mendapatkan perilaku diskriminasilah yang merawat semangatnya sampai saat ini.
“Ini sejenis balas dendam positif,” pungkasnya.
Kenang Masa Kecil
Ia pun menceritakan masa kecilnya, bertepatan pula di hari Imlek. Ia lahir di pinggiran daerah Sunggal di kota Medan dan tumbuh dengan nilai keanekaragaman. Pasalnya, ia berada di wilayah yang membiasakannya hidup beragam etnis.
“Sejak kecil saya sering berbaur dengan orang Melayu dan Karo. Kami juga sering mandi di sungai Sunggal, yang sekarang jadi PDAM Tirtanadi. Makanya, saat momen Imlek itu masyarakat dari etnis lain juga ikut merayakan. Itulah pertemanan kami dulu,” jelasnya melalui saluran telepon, Jumat 12 Februari 2021.
Ia menceritakan sering kali warga meminta kue bakul atau roti keranjang. Sementara kalau etnis Melayu merayakan Idul Fitri, ia mengaku sering diberikan kolang – kaling serta lainnya. Nuansa keberagaman itulah yang sempat dirasakannya sejak kecil.
“Tapi waktu Soeharto memimpin, banyak kegiatan jadi tidak diperbolehkan. Seperti Barongsai dan perayaan Imlek tidak dilaksanakan lagi,” ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, sejak 1967 -1971 etnisnya tidak lagi bisa belajar bahasa Mandarin. Maka dari itu, katanya, generasi yang seangkatan dengannya tidak mengenal bahasa Mandarin dengan baik. Meskipun pernah hidup sengsara dan terkungkung di bawah rezim otoriter, ia tetap memiliki kecintaan kepada masyarakat Indonesia.
Baca: Tidak Ada Penarikan Sertifikat Tanah Terkait Penerbitan Sertifikat Elektronik
Dia pun menjelaskan pengalaman pahitnya saat didiskriminasi. Saat itu, ia telah kehilangan ayahnya sehingga kondisi keuangannya minim dan membuatnya sulit untuk sekolah. Tak berhenti untuk meraih gelar sarjana, ia kuliah sembari mengajar dan lainnya.
“Jadi saat itu saya kuliah pendidikan dokter dan tidak bisa lulus cepat hanya kerena dari etnis Tionghoa. Karena itu, setelah tamat saya berpikir bagaimana agar anak yang miskin bisa sekolah dan memberikan beasiswa,” ujarnya.
Bawa Misi ke Senayan
Tujuannya untuk menolong orang miskin bisa sekolah pun menjadi visi yang dibawa sampai ke Senayan Jakarta sebagai anggota dewan. Posisi itu pun didapatkan melalui partai PDIP yang dianggapnya memperjuangkan wong cilik. Sesuai dengan cita – cita dan semangat nasionalisnya.
“Sebelumnya ruang gerak saya terbatas. Tetapi dengan posisi ini, cita – cita saya, kalau bisa semua orang miskin di Medan bisa gratis sekolahnya sampai tingkat kuliah,” tandasnya.
Ingin Kaum Miskin Terdidik, Sofyan Tan: Ini Balas Dendam Positif